"..Ukhuwah ini mengalahkan indahnya pelangi. Tidak hanya mengajarkan pada kita apa itu cinta. Bukan hanya memaksa kita untuk mengenal kata dewasa. Lebih dari itu semua, dan ukhuwah ini telah membawa kita pada tempat berpijak kita saat ini. Bukan tanpa alasan kita dipertemukan. Bukan tanpa maksud kita menangis bersama, tertawa bersama, saling merindu dalam suasana syahdu..."
Mempertahankannya lebih sulit daripada merawat.
Tak dapat dipungkiri bahwa masa-masa terburuk selalu datang, silih beganti bagaikan angin malam. Konflik individu. Kupikir dulu hanyalah sebuah hal yang mustahil untuk datang sebagai tamu. Ternyata sekalinya datang, ia membawakan kado dengan bungkusan sampul berwarna hitam, yang diatasnya menempel ornamen black-rose. Bukan hanya sekedar simbol kelabu. Lebih dari itu. Tak jarang menjadi pengancam hancurnya hubungan yang indah ini.
Kini aku bingung, jangankan hubungan rumah-tangga yang melibatkan banyak pihak (bukan hanya pasangan & mertua), bahkan level hubungan persahabatan mungil seperti ini saja tak luput dari terjangan topan hiraklius. Bukan hal mustahil jika hal yang tadinya tertata rapi akan menjadi porak-poranda dan menimbulkan susunan variabel logika yang cenderung menimbulkan konflik.
4 manusia udung yang selalu hepi dalam naungan dan ikatan cinta. Saling membantu dalam kebaikan, saling mendo’akan dalam segala urusan, dan bukan hal aneh lagi kalau salah satu siap menjadi tumbal bagi saudara yang lain. Unik memang. Beginilah cinta.
Aku. Tak pernah berfikir bahwa konflik itu akan datang dengan cara seperti ini. Pernah kualami dengan semua dari kalian tercinta. Konflik yang luar biasa hebat. Yang tak haya sekedar menguras dan memeras otak, tapi juga memaksa untuk mencurahkan sederas-derasnya air dari bola mata yang selalu berakhir dengan sembab yang mengembang. Lingkar mata menjadi sayu, cahaya mata sirna, dan kelopak mengalami pembengkakan. Bisa dibayangkan bagaimana selanjutnya tangisan dalam hati yang sudah lebih dahulu menjerit-jerit tanda akan dahsyatnya tekanan.
Hai sahabat-sahabatku. Yang senantiasa dilindungi Allah. Haruskah kuberitahukan pada kalian betapa rasa cinta ini sudah sebegitu luar biasanya menyelimuti. Nama-nama kalian sudah memiliki tempat khusus di bagian hati paling dalam.
Masa-masa kelam selalu bisa dilewati dengan tetap menjaga esensi kata ukhuwah. Melewati dengan artian bahwa kita berdiri tegak dengan jiwa besar dan lapang dada menyambut kedatangan awan kelabu. Bukan dengan lari yang tak akan menyelesaikan masalah.
Kalian tentu masih ingat ketika kita semua bersepakat untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai landasan dan pondasi dari Udung Family.
Dzi yang mengorbankan waktu kuliah dengan mengambil cuti demi mengikuti aktifitas qur’ani di sebuah Ma’had Tahfidz. Tarie yang mengalokasikan waktu dan mengambil celah di sela-sela akfitas dakwahnya yang kelewat padat untuk menyelami Alqur’an. Suri yang nekat cuti kerja, jauh-jauh mendarat di kota Jogja, tidak ada prioritas lain selain Alqur’an.
Dan kalian masih ingat bahwa hak akan seorang anak adalah Ibu, Makanan, dan Alqur’an. 3 hak utama yang wajib dipenuhi oleh orangtua. Dan dalam keadaan sadar kita mengetahui bahwa ternyata Alqur’an muncul di sana. Apa maksudnya? Kembali pada pemahaman dasar kita tentang agama ini.
Ukhuwah ini mengalahkan indahnya pelangi. Banyak orang menilai kita aneh, kalau boleh dibilang senang pun ternyata kita memang senang ketika ada orang yang berkata demikian.
Ukhuwah ini mengalahkan indahnya pelangi. Ada saat harus berbenturan, ada saat harus saling mendiamkan, ada saat harus mencurahkan perhatian, ada saat harus nekat melawan arus kebanyakan.
Ukhuwah ini mengalahkan indahnya pelangi. Kita semua tahu, tak banyak manusia lain yang berkesempatan merasakan apa yang kita jalani saat ini. Harusnya ada kata yang lebih pantas bagi kita dari sekedar saudara seiman atau bahkan persahabatan.
Ukhuwah ini mengalahkan indahnya pelangi. Tidak hanya mengajarkan pada kita apa itu cinta. Bukan hanya memaksa kita untuk mengenal kata dewasa. Lebih dari itu semua, dan ukhuwah ini telah membawa kita pada tempat berpijak kita saat ini. Bukan tanpa alasan kita dipertemukan. Bukan tanpa maksud kita menangis bersama, tertawa bersama, saling merindu dalam suasana syahdu.
Ukhuwah ini mengalahkan indahnya pelangi. Tak ada yang mengetahui masa depan selain Allah. Dan tak ada yang mengetahui bagaimana keadaan kita selanjutnya. Kita juga masih ingat tentang sebuah generasi rabbani, generasi qur’ani, generasi yang akan menjadi penerus estafet dakwah untuk ummat. Dan hal itu pula yang menjadikan kita seirama dalam melangkah.
Ukhuwah ini mengalahkan indahnya pelangi. Kalian tahu bahwa kita semua akan tersenyum dan tertawa ketika melihat kembali rekaman episode dalam benak pada waktu lima tahun atau sepuluh tahun yang akan datang. Hanya berharap bahwa Allah akan senantiasa membimbing kita semua dengan cintaNya.
Bukan berarti hidup ini hanya dipenuhi oleh cibiran. Dan bukan berarti hidup ini terus menerus dianggap tidak waras.
Masih banyak dari mereka yang selalu meberikan support untuk setiap langkah dan pilihan hidup.
Ketika bercerita tentang ketidakpopuleran pilihan.
Ketika berbicara tentang ketidakwarasan harapan.
Dan ketika berencana tentang masa depan.
Pernah terbayang dalam lamunan, bahwa suatu saat mereka yang tak henti-hentinya memberikan dukungan akan mengembangkan senyum atas pencapaian yang diambil melalui ketidakpopuleran hidup.
Untuk mereka yang selalu mendampingi. Bahwa do’a ini tak akan terlupa disetiap ada kesempatan. Rasa hormat ini tak akan berkurang. Ungkapan kasih sayang pun tak akan dengan mudah diceraikan.
Seandainya ada istilah lain yang berada berkali-kali di atas “rasa persaudaraan”, mungkin istilah itulah yang sepertinya layak untuk disematkan. Sebuah rasa yang teramat sulit untuk dihilangkan. Sebuah ikatan yang sangat sulit untuk dilupakan.
Bagaimanapun bentuk pertemuannya, tak dapat dipungkiri bahwa semua itu ada masanya.
Jika dilihat dari sisi humanis, maka akan didapati bahwa semua akan berakhir pada perpisahan yang bernama kematian.
Alhamdulillah islam memberikan ketetapan yang indah. Bahwa setelah perpisahan itu akan ada masa untuk kembali bersua.
Tak hentinya memohon, agar kelak semua yang telah terjadi tak ada sesal di dalamnya. Dan akan kembali dipertemukan melalui rahmat dan ridho. Di tempat yang kekal, yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.
Selalu menangis.
Menyertai permohonan yang teramat sangat. Agar yang disampaikan tak hanya didengarkan, pun juga direalisasikan.
Sadar, bahwa semua butuh proses untuk menuju akhir yang abadi. Bukan abadi dalam kesengsaraan. Tapi abadi dalam kebahagiaan.
Satu pertanyaan yang tak akan bisa terjawab dengan mudah. Kalaupun ada satu tahun untuk mencari jawabnya, niscaya tak akan cukup waktu untuk memberikan jawab.
Untuk apa semua ini dipertemukan?
Mencoba mencari jawab, namun hanya ada sebab.
Sebab-sebab yang pada akhirnya akan kembali pada pertanyaan tersebut.
Kusut?
Iya.
Cukup. Tak perlu diperkusut lagi.
Biarkan saja semua ini terjawab dengan sendirinya.
Biarkan saja kekusutan ini terurai dengan indahnya.
Adakah rasa rindu untuk bersua?Adakah saling perhatian satu dan lainnya?
Dan apakah masih ada rasa?
Jawabnya hanya ada dalam dada.
Di sini, dalam kesunyian saat ini, dalam kegundahan rasa hati. Selalu rindu untuk berjumpa, selalu terbayang kabar di sana. Dan selalu ingin untuk bersama.
Satu per satu wajah berseri itu hadir dalam bayang. Datang mendekat, memberikan senyum terindah. Bergantian.
Membuncah sudah. Merindukan senyum itu hadir di hadapan.
Tuhan..,
Pertemukanlah kami dalam keadaan yang Engkau ridhoi, bukan dalam keadaan yang Engkau murkai. Kumpulkanlah kami dalam indahnya rasa cinta, bukan dalam suasana penuh nestapa.
Tuhan..,Kami tak butuh rasa cinta, jika keberadaannya hanya membuat prasangka,
Kami tak butuh pengertian dan perhatian, yang jika karenanya hanya menimbulkan kecurigaan..
Yang kami butuhkan hanyalah petunjukMu, yang dengannya kami bisa semakin bersatu, bahu-membahu, dan saling membantu dalam rangka beribadah kepadaMu.
Tuhan..,
Ikat hati kami dengan CintaMu. Karena ukhuwah ini mengalahkan indahnya pelangi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar